Baca Artikel Tentang Kami Hubungi Kami
Pilih Label
Geser ke samping untuk lihat semua

    Saturday, September 6, 2025

    ISLAM MENYURUH UNTUK BERPIKIR, BUKAN MENGEKOR PADA ELIT AGAMA


    Islam bukanlah agama dogma yang bisanya hanya membungkam akal. Ia justru datang sebagai cahaya yang membebaskan manusia dari kegelapan kebodohan, termasuk dari ketergantungan mutlak pada otoritas yang kebenarannya masih samar-samar. Dalam Islam, berpikir adalah perintah, bukan pilihan. Allah berulang kali menyeru manusia untuk menggunakan akalnya, merenung, mempertimbangkan, dan mengambil pelajaran dari berbagai fenomena kehidupan. Seruan ini jauh lebih banyak daripada perintah untuk mengikuti manusia, termasuk tokoh agama. Maka, menjadi penting untuk ditegaskan, Islam menyuruh umatnya untuk berpikir, bukan mengekor pada elit agama secara membabi buta.

    Al-Qur’an memberikan tempat yang sangat tinggi bagi akal. Kata kerja turunan dari akal ('aql), seperti ta‘qilun, ya‘qilun, dan la ya‘qilun, muncul lebih dari lima puluh kali. Sebagai contoh, dalam Surah Al-Baqarah ayat 44, Allah berfirman, “Apakah kamu menyuruh manusia (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri padahal kamu membaca Kitab? Maka tidakkah kamu berpikir?” Ayat ini tidak hanya menegur kaum Bani Israil yang inkonsisten, tetapi juga menegaskan berpikir adalah landasan etika dan keimanan (Al-Qaradawi, 1996).

    Lebih jauh lagi, Islam mengecam keras sikap mengikuti pemimpin agama tanpa pertimbangan akal. Dalam Surah At-Taubah ayat 31, Allah menyebut kaum Nasrani dan Yahudi yang menjadikan ulama dan pendeta mereka sebagai “tuhan selain Allah”. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, yang dimaksud ayat ini bukan penyembahan secara literal, tetapi kepatuhan mutlak terhadap keputusan-keputusan tokoh agama mereka, meski bertentangan dengan wahyu (Ibnu Katsir, 2000). Pelajaran penting dari ini adalah, ketaatan kepada ulama tidak boleh membatalkan fungsi akal.

    Tradisi Islam sendiri tidak menganggap ulama sebagai makhluk suci. Mereka adalah manusia biasa yang bisa benar dan bisa salah. Imam Malik pernah berkata, “Setiap orang bisa diambil dan ditolak pendapatnya kecuali penghuni kubur ini,” sambil menunjuk makam Rasulullah (Al-Ghazali, 2005). Bahkan, Imam Syafi’i menegaskan, jika pendapatnya bertentangan dengan hadits sahih, maka pendapatnya harus ditinggalkan. Ini menunjukkan betapa para ulama besar pun sadar akan keterbatasan manusiawi mereka, dan tidak menginginkan pengikutnya bertaklid buta.

    Dalam maqashid al-syari’ah, salah satu tujuan utama syariat adalah menjaga akal. Al-Syatibi menempatkan hifz al-‘aql (perlindungan akal) sejajar dengan penjagaan agama, jiwa, harta, dan keturunan (Al-Syatibi, 2005). Artinya, syariat tidak hanya memfasilitasi akal, tapi juga memelihara dan menjaganya agar tetap hidup dan berfungsi. Mengikuti ulama seharusnya menjadi bagian dari proses menjaga akal ini, bukan menggantikannya. Ulama adalah pemandu, bukan pengganti akal. Mereka adalah media, bukan sumber kebenaran mutlak.

    Masalah muncul ketika sebagian umat menjadikan perkataan ulama sebagai satu-satunya referensi, tanpa menyaring, tanpa bertanya, tanpa berpikir. Ini yang disebut taklid buta, dan inilah yang berbahaya. Taklid semacam ini bisa melahirkan kekakuan beragama, konflik mazhab, bahkan ekstremisme. Kasus-kasus kekerasan atas nama agama sering kali berpangkal dari penafsiran literal yang diambil tanpa verifikasi atau pertimbangan nalar. Padahal, jika fungsi berpikir dihidupkan, umat akan bisa memilah antara ajaran inti dan pendapat manusia, antara prinsip dan metode.

    Lebih dari itu, terlalu bergantung pada otoritas agama juga bisa melumpuhkan tanggung jawab individu dalam beragama. Orang cenderung melemparkan dosa atau kesalahan kepada pemimpinnya, dan merasa cukup hanya dengan patuh tanpa paham. Padahal dalam Islam, setiap individu bertanggung jawab atas dirinya. Tidak ada yang bisa menjadi penanggung dosa bagi orang lain. Firman Allah dalam Surah Al-Isra’ ayat 36, “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.” (Al-Qaradawi, 1996).

    Tentu saja, ini bukan ajakan untuk meremehkan ulama. Peran mereka sangat penting dalam menyampaikan dan menjelaskan ajaran Islam. Namun, mengikuti ulama tidak boleh menggantikan aktivitas berpikir. Umat perlu belajar membangun relasi sehat dengan otoritas keagamaan—menghormati, tetapi tidak menuhankan. Ulama membantu membuka jalan kebenaran, tetapi mereka bukan penentu tunggal kebenaran. Kebenaran tetap harus diverifikasi dengan nalar dan hati nurani.

    Islam tidak lahir di ruang hampa intelektual. Sejarah mencatat, kejayaan peradaban Islam dibangun di atas fondasi ilmu dan pemikiran. Para ulama dahulu tidak hanya menghafal, tapi juga menalar. Mereka menulis, berdiskusi, bahkan berbeda pendapat secara terbuka. Semua itu dimungkinkan karena akal diberi tempat yang layak. Maka, jika umat Islam hari ini ingin bangkit, kunci utamanya adalah menghidupkan kembali budaya berpikir. Bukan hanya mengutip, tetapi juga memahami. Bukan hanya mengikuti, tetapi juga menimbang dan merenungi. Islam menuntut keimanan yang sadar, bukan ketaatan yang pasif.

    Daftar Pustaka

    Al-Ghazali. (2005). Ihya’ ‘Ulum al-Din (Jilid 1). Beirut: Dar al-Ma’rifah.

    Al-Qaradawi, Y. (1996). Al-‘Aql wa al-‘Ilm fi al-Qur'an al-Karim. Kairo: Maktabah Wahbah.

    Al-Syatibi. (2005). Al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah. Kairo: Dar al-Ma'arif.

    Ibnu Katsir. (2000). Tafsir al-Qur’an al-Azim. Beirut: Dar al-Fikr.

    PENTINGNYA AKAL DALAM ISLAM


    Islam adalah agama yang menjunjung tinggi akal. Tidak ada ajaran dalam Islam yang menyerukan pengabaian terhadap akal sehat, nalar rasional, atau pertimbangan logis. Dalam banyak ayat Al-Qur’an, Allah secara eksplisit memuji orang-orang yang berpikir dan mencela mereka yang menolak menggunakan akalnya. Akal bukan hanya instrumen kognitif, melainkan syarat keberagamaan itu sendiri. Tanpa akal, manusia tidak memiliki dasar untuk memahami wahyu, mengamalkan syariat, atau mempertanggungjawabkan amal perbuatannya di hadapan Allah (Al-Ghazali, 2005).

    Akal dalam Islam bukanlah lawan dari wahyu, melainkan mitra. Keduanya berjalan beriringan. Wahyu memberikan arahan normatif dan nilai-nilai universal, sementara akal bertugas untuk memahami, menguraikan, dan menerapkannya sesuai konteks kehidupan. Dalam pandangan ulama seperti Ibnu Taimiyyah, akal yang sehat tidak akan pernah bertentangan dengan wahyu yang sahih. Jika tampak terjadi kontradiksi, maka bisa jadi karena kesalahan dalam memahami salah satu atau keduanya (Ibnu Taimiyyah, 1997). Maka dari itu, Islam tidak pernah memerintahkan pengikutnya untuk mematikan akal. Sebaliknya, ia mendorong umatnya untuk merenung, bertanya, menimbang, dan berpikir kritis (Al-Qaradawi, 1996).

    Al-Qur’an menggunakan berbagai bentuk kata kerja dari akar kata akal (‘aql), seperti ya'qilun, ta'qilun, dan la ya'qilun, lebih dari lima puluh kali. Menariknya, bentuk kata benda dari akal tidak pernah muncul, seakan ingin menunjukkan akal harus digunakan, bukan sekadar dimiliki. Firman Allah dalam Surah Az-Zumar ayat 9 menyebutkan, hanya orang-orang berilmu yang mampu menangkap makna ketakwaan. Para mufasir menjelaskan, yang dimaksud dengan “orang berilmu” dalam ayat tersebut adalah mereka yang menggunakan akalnya untuk memahami tanda-tanda kekuasaan Allah di alam semesta (Al-Qaradawi, 1996).

    Dalam kerangka hukum Islam, akal memiliki posisi sentral. Ia merupakan salah satu syarat utama taklif, yaitu kondisi seseorang dibebani kewajiban hukum. Orang yang kehilangan akal, seperti anak kecil atau penderita gangguan jiwa, tidak dikenai kewajiban syariat. Ini menandakan  Islam tidak hanya rasional, tetapi juga adil. Tak ada beban tanpa kesiapan. Ulama fikih klasik seperti Ibnu Qudamah menyatakan sah atau tidaknya ibadah seseorang tergantung pada keberadaan akalnya (Ibnu Qudamah, 1994). Tanpa akal, tidak ada tanggung jawab. Ihwal inilah yang membedakan Islam dari paham otoritarianisme religius yang memaksa pelaksanaan hukum kepada siapa saja tanpa mempertimbangkan kapasitas nalar.

    Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menggambarkan akal sebagai fondasi ilmu dan amal. Ia menegaskan, ilmu adalah hasil dari akal, dan amal tidak akan sah jika tanpa ilmu. Maka, akal merupakan fondasi yang menopang seluruh bangunan agama. Dalam ungkapannya yang terkenal, “Akal adalah pangkal agama. Barang siapa tidak memiliki akal, maka tidak ada agama baginya” (Al-Ghazali, 2005). Pandangan ini memperjelas keberagamaan tanpa rasionalitas adalah ilusi. Beragama bukan hanya soal kepatuhan ritual, melainkan juga soal pemahaman dan kesadaran.

    Namun demikian, tidak jarang terjadi kekeliruan dalam memahami hubungan antara akal dan wahyu. Sebagian kalangan cenderung mengesampingkan akal demi menjunjung tinggi teks secara literal, sementara sebagian lain terlalu mengedepankan rasio hingga menolak otoritas wahyu. Kedua ekstrem ini tidak sejalan dengan prinsip epistemologi Islam. Islam menegaskan perlunya sintesis antara teks dan konteks, antara dalil naqli dan dalil aqli. Dalam proses ijtihad, misalnya, ulama menggunakan akal untuk memahami ayat-ayat yang terbuka untuk penafsiran, terutama dalam hal-hal yang tidak memiliki ketentuan hukum secara eksplisit dalam Al-Qur’an atau hadits. Ini adalah bukti nyata betapa Islam memberi ruang yang luas bagi akal dalam konstruksi hukum, ilmu, dan etika (Ibnu Taimiyyah, 1997).

    Pengabaian terhadap akal membawa risiko besar, termasuk munculnya taklid buta, fanatisme tanpa dasar, serta radikalisme berbasis teks yang kering dari konteks. Rasulullah SAW sendiri memperingatkan agar umatnya tidak menjadi pengekor tanpa berpikir. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, beliau bersabda, “Janganlah kalian menjadi orang yang berkata: jika orang-orang baik, aku juga baik; dan jika mereka zalim, aku pun ikut zalim. Tetapi biasakanlah diri kalian: jika orang-orang baik, ikutlah berbuat baik; dan jika mereka menyimpang, jangan ikut menyimpang” (Tirmidzi, 2007). Ini adalah ajaran tentang keberanian moral dan tanggung jawab intelektual—dua hal yang hanya bisa tumbuh dari akal yang sehat.

    Akal juga menjadi penentu dalam membangun peradaban Islam yang maju dan berkelanjutan. Sejarah mencatat, masa keemasan Islam ditopang oleh para ilmuwan dan pemikir yang menjadikan akal sebagai alat eksplorasi terhadap alam semesta dan kehidupan sosial. Dari Ibnu Sina di bidang kedokteran, Al-Khwarizmi dalam matematika, hingga Al-Farabi dan Ibnu Rusyd dalam filsafat, semuanya menunjukkan akal dan iman bisa berjalan seiring membentuk peradaban unggul. Maka, membungkam akal dalam beragama bukan hanya bertentangan dengan semangat Islam, tetapi juga merusak potensi umat untuk berkembang dan memberi manfaat luas bagi dunia (Al-Qaradawi, 1996).

    Oleh karena itu, kampanye pentingnya akal dalam Islam harus terus digaungkan, terutama di tengah arus informasi yang kerap menyesatkan dan praktik keberagamaan yang kadang menjauh dari nilai-nilai rasionalitas. Menggunakan akal bukanlah sikap antiagama, melainkan bentuk tanggung jawab terhadap agama itu sendiri. Akal adalah cahaya yang dengannya manusia bisa mengenal kebenaran, memahami wahyu, dan membedakan antara yang hak dan yang batil. Tanpa akal, iman akan rapuh, dan agama akan kehilangan arah. Islam adalah agama akal, dan umat Islam harus menjadi komunitas yang berpikir.

    Daftar Pustaka

    Al-Ghazali. (2005). Ihya’ ‘Ulum al-Din (Jilid 1). Beirut: Dar al-Ma’rifah.

    Al-Qaradawi, Y. (1996). Al-‘Aql wa al-‘Ilm fi al-Qur'an al-Karim. Kairo: Maktabah Wahbah.

    Ibnu Qudamah. (1994). Al-Mughni. Beirut: Dar al-Fikr.

    Ibnu Taimiyyah. (1997). Dar’ Ta‘āruḍ al-‘Aql wa al-Naql (ed. Muhammad Rashad Salim). Riyadh: Universitas Imam Muhammad bin Saud.

    Tirmidzi, A. I. (2007). Sunan at-Tirmidzi. Beirut: Dar al-Gharb al-Islami.

    Friday, September 5, 2025

    RESEP ANTI TOLOL: METODE BERFIKIR LOGIS, KRITIS, DAN ANALITIS

    Pengetahuan sering dipuja sebagai puncak pencapaian manusia, tetapi justru di situlah letak masalahnya. Pengetahuan tidak selalu murni, objektif, atau netral. Ia kerap menipu, menyesatkan, bahkan memperdaya manusia. Tidak sedikit orang meyakini sesuatu yang ia sebut pengetahuan, padahal sejatinya hanyalah kepercayaan keliru yang dibungkus dengan otoritas atau retorika. Akibatnya, manusia sulit membedakan mana yang benar dan mana yang sekadar klaim. Lebih jauh, kekeliruan pengetahuan berdampak buruk, bahkan sangat buruk. Ia dapat melahirkan fanatisme, dogmatisme, dan kebijakan yang salah kaprah. Singkatnya, pengetahuan yang salah tidak hanya membodohi, tetapi juga menyesatkan, serta merusak kehidupan bersama. Problem pengetahuan adalah problem epistemologis yang mendasar. Problem ini menuntut perhatian serius, sebab jika tidak, kebodohan yang dibalut pengetahuan palsu akan terus direproduksi.
    Francis Bacon, filsuf Inggris yang dikenal sebagai peletak dasar metode ilmiah modern, menawarkan analisis tajam mengenai akar persoalan ini. Menurut Bacon, sumber utama kekeliruan berpikir terletak pada apa yang ia sebut sebagai idola. Kata “idola” di sini tidak merujuk pada objek penyembahan religius, melainkan bias, ilusi, atau jebakan kognitif yang secara sistematis menghalangi manusia untuk berpikir logis dan objektif (Bacon, 1620/2000). Pikiran manusia, kata Bacon, hampir selalu terkontaminasi oleh idola. Karena itu, siapa pun yang ingin mencari kebenaran harus terlebih dahulu membersihkan akalnya dari idola-idola ini. Bacon mengklasifikasikan idola ke dalam empat jenis, yaitu idola tribus, specus, theatri, dan fori.
    Idola tribus adalah kesalahan epistemologis yang melekat pada manusia sebagai spesies. Bacon menegaskan, pikiran manusia cenderung melihat hubungan yang sejatinya tidak ada hubungan (menghubungkan sesuatu yang tidak berhubungan), menggeneralisasi dari data terbatas, dan terlalu percaya pada kesan indrawi (Bacon, 1620/2000). Dalam psikologi modern, hal ini mirip dengan confirmation bias atau patternicity (Kahneman, 2011). Dampaknya, keyakinan sering lebih ditentukan oleh intuisi cepat ketimbang bukti empiris. Karena itu, klaim pengetahuan harus diuji lewat korespondensi dengan fakta, konsistensi dengan pengetahuan lain, serta kegunaannya dalam praktik.
    Idola specus adalah bias pribadi yang lahir dari “gua” masing-masing subjek, mulai dari latar belakang, pengalaman, atau kepercayaan yang menyaring realitas. Dua orang bisa melihat data yang sama, tetapi menafsirkannya berbeda sesuai "gua"nya masing-masing. Fenomena ruang gema digital adalah contoh kontemporer. Dampak epistemiknya jelas, pengetahuan diseleksi bukan berdasarkan bukti, melainkan preferensi. Jalan keluarnya adalah verifikasi obyektif, dialog kritis dengan sudut pandang berbeda, serta pengujian gagasan dalam konteks yang menantang keyakinan pribadi (Bacon, 1620/2000).
    Idola theatri menunjuk pada dogma, teori, dan sistem pemikiran yang diperlakukan bak panggung teater: indah, teratur, namun tidak sesuai kenyataan. Bacon mengkritik tradisi skolastik yang lebih setia pada teori daripada fakta (Bacon, 1620/2000). Bentuk modernnya tampak ketika paradigma ilmiah dijadikan dogma kebal kritik (Popper, 1959; Kuhn, 1962). Akibatnya, fakta dipaksa menyesuaikan teori. Untuk menghindarinya, setiap dogma, teori, dan sistem pemikiran harus diuji keras terhadap kemungkinan falsifikasi, diperiksa konsistensinya, dan dinilai berdasarkan kontribusi praktisnya.
    Idola fori adalah jebakan bahasa. Manusia sering menyamakan kata dengan realitas, padahal bahasa penuh ambiguitas. Akibatnya, perdebatan kerap berputar pada istilah, bukan substansi. Bacon (1620/2000) memperingatkan kata-kata bisa mengaburkan pemikiran lebih daripada menjelaskannya. Reifikasi konsep, penyalahgunaan istilah, atau slogan politik adalah contohnya. Pencegahannya ialah definisi yang jelas, konsistensi istilah, dan pengujian apakah perbedaan kata berimplikasi nyata pada prediksi atau tindakan.
    Keempat jenis idola ini, menurut Bacon, adalah penghalang utama dalam mencari pengetahuan yang benar. Tanpa disadari, manusia menggunakannya setiap hari dalam berpikir, berdiskusi, bahkan mengambil keputusan penting. Karena itu, diperlukan semacam “resep anti tolol”, suatu metode yang dapat melindungi manusia terjerumus dalam kesalahan dan kesesatan berpikir. Resep itu tidak lain adalah berpikir logis, kritis, dan analitis. Tiga cara berpikir ini memungkinkan manusia menyaring pengetahuan, membedakan klaim benar dan salah, serta menguji kebenaran dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan.
    Metode berpikir logis, kritis, dan analitis bisa dipahami melalui tiga teori kebenaran utama dalam filsafat: korespondensi, koherensi, dan pragmatisme. Pertama, teori korespondensi. Teori ini menyatakan kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan dengan fakta. Sebuah klaim hanya bisa dianggap benar jika sejalan dengan fakta atau realitas empiris. Contohnya sederhananya: jika seseorang mengatakan “air mendidih pada suhu 100°C pada tekanan normal”. Klaim itu benar, karena sesuai dengan fakta yang sudah teruji. Teori ini menekankan perlunya verifikasi dan bukti nyata dalam setiap klaim kebenaran (Russell, 1912/1997).
    Kedua, teori koherensi, yakni kebenaran yang ditentukan oleh konsistensi internal dalam suatu sistem pengetahuan. Artinya, sebuah pernyataan harus selaras dengan pernyataan lain yang telah diterima sebagai benar. Contoh sederhananya, jika seseorang meyakini bahwa “semua manusia fana” dan juga menerima “Socrates adalah manusia,” maka secara koheren ia harus menerima kesimpulan “Socrates fana.” Ketidakselarasan atau kontradiksi akan merusak struktur pengetahuan itu sendiri. Dalam praktik sosial, kontradiksi ini sering muncul, misalnya seseorang yang mendukung demokrasi, tetapi sekaligus menolak kebebasan berpendapat. Teori koherensi menuntut kita menjaga sistem berpikir tetap tertib dan konsisten (Bradley, 1914/1981).
    ketiga, teori pragmatisme, yakni kebenaran yang diuji melalui kegunaan praktis suatu gagasan. William James (1907/2000) menegaskan, suatu ide dapat dikatakan benar, apabila ia memiliki fungsi, dampak, dan manfaat dalam kehidupan nyata. Contoh aplikatifnya dapat dilihat dalam bidang kedokteran. Teori tentang vaksin dianggap benar bukan hanya karena konsisten dengan data ilmiah, tetapi juga karena secara praktis terbukti mampu menekan angka kematian dan penyakit. Sebaliknya, sebuah teori yang indah di atas kertas tetapi tidak dapat diterapkan untuk menyelesaikan persoalan nyata, nilainya diragukan secara pragmatis. Dengan demikian, teori pragmatisme memastikan pengetahuan tidak berhenti sebagai abstraksi, melainkan memiliki dampak nyata bagi kehidupan.
    Dengan mengintegrasikan tiga teori kebenaran ini, metode berpikir logis, kritis, dan analitis menjadi resep efektif untuk melawan idola-idola Bacon. Korespondensi menjaga kita tetap berpijak pada fakta, koherensi memastikan sistem berpikir konsisten, dan pragmatisme menjamin pengetahuan tetap bermanfaat. Resep ini tidak akan membuat manusia sempurna, tetapi setidaknya dapat mengurangi risiko kesesatan berpikir.
    Problem pengetahuan tidak bisa dianggap remeh. Kegagalan membedakan pengetahuan benar dari pengetahuan palsu hanya akan melahirkan masyarakat yang terjebak dalam dogma, manipulasi bahasa, dan ilusi kolektif. Francis Bacon telah mengingatkan sejak abad ke-17, bahwa pikiran manusia selalu terancam oleh idola. Namun, dengan resep anti tolol berupa metode berpikir logis, kritis, dan analitis yang ditopang oleh teori kebenaran korespondensi, koherensi, dan pragmatisme, manusia setidaknya memiliki peluang untuk keluar dari jebakan kebodohan. Pilihannya sederhana, apakah kita mau berpikir jernih, atau terus memelihara ilusi yang menyesatkan?

    Daftar Pustaka
    Bacon, F. (2000). Novum Organum (L. Jardine & M. Silverthorne, Eds. & Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1620)
    James, W. (2000). Pragmatism. Hackett Publishing Company. (Original work published 1907)
    Russell, B. (1997). The Problems of Philosophy. Oxford University Press. (Original work published 1912)
    Bradley, F. H. (1981). Essays on Truth and Reality. Clarendon Press. (Karya asli 1914)
    Kahneman, D. (2011). Thinking, Fast and Slow. Farrar, Straus and Giroux.
    Popper, K. (1959). The Logic of Scientific Discovery. Hutchinson.
    Kuhn, T. S. (1962). The Structure of Scientific Revolutions. University of Chicago Press.

    KETELADANAN NABI MUHAMMAD: SUARA PEMBEBASAN BAGI KAUM TERTINDAS



    Dalam sejarah panjang peradaban manusia, Nabi Muhammad SAW hadir tidak hanya sebagai penyampai risalah ketuhanan, melainkan juga sebagai suara pembebasan yang membangunkan kesadaran kolektif masyarakat tertindas. Beliau lahir di tengah masyarakat Arab jahiliah yang sarat dengan ketimpangan sosial, di mana kemuliaan ditentukan oleh garis keturunan, status sosial, dan kekayaan. Risalah Islam yang dibawa Nabi menjadi koreksi fundamental terhadap struktur sosial yang timpang tersebut sekaligus menghadirkan revolusi moral, spiritual, dan sosial. Beberapa fakta ini mengafirmasi Islam tidak dapat dipahami semata sebagai sistem ritual keagamaan, melainkan juga sebagai gerakan pembebasan yang membela martabat manusia secara universal.

    Ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW sarat dengan roh pembebasan. Al-Qur’an menegaskan, manusia diciptakan beragam agar saling mengenal, bukan untuk saling merendahkan (Qur’an 49:13, trans. Abdel Haleem, 2005). Pesan ini membongkar logika diskriminasi sosial yang telah mengakar dalam struktur jahiliah. Rasulullah menegakkan pesan tersebut bukan hanya melalui ucapan, tetapi juga melalui tindakan konkret: pembebasan budak, pengangkatan derajat kaum miskin, serta pemuliaan perempuan yang sebelumnya direduksi menjadi objek budaya patriarkis. Dalam perspektif teologi pembebasan, Islam tampil sebagai agama yang berpihak pada kaum lemah dan menolak segala bentuk penindasan struktural (Esack, 1997).

    Keteladanan Nabi juga tercermin dalam model kepemimpinannya. Beliau tidak menerapkan pola otoriter yang memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri, melainkan menghadirkan gaya kepemimpinan, yang dalam literatur modern dikenal sebagai servant leadership. Konsep ini menekankan pelayanan, solidaritas, dan teladan moral (Ramadan, 2007). Nabi memimpin dari tengah, bukan dari menara gading. Beliau terjun langsung merasakan penderitaan umatnya. Saat masyarakat Madinah mengalami kelaparan, Nabi ikut merasakan lapar. Saat parit digali untuk pertahanan kota, beliau turut mengangkat tanah dengan tangannya. Kepemimpinan seperti ini menunjukkan pemimpin sejati adalah pemimpin yang melayani, bukan mengeksploitasi.

    Relevansi keteladanan Nabi tetap nyata hingga masa kini. Dunia memang berubah, tetapi bentuk penindasan sosial belum hilang sepenuhnya. Kemiskinan struktural, eksploitasi tenaga kerja, diskriminasi gender, dan marginalisasi kelompok minoritas masih menjadi problem global yang nyata. Dalam konteks ini, pesan kenabian tentang keadilan dan kesetaraan perlu dibaca ulang sebagai inspirasi moral sekaligus dorongan praksis sosial. Jika Nabi Muhammad membebaskan Bilal bin Rabah dari perbudakan, maka umat Islam masa kini dipanggil untuk membebaskan manusia dari belenggu kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan ekonomi. Dengan cara inilah teladan profetik tetap dapat relevan sebagai energi transformasi sosial dalam menghadapi tantangan modernitas.

    Sayangnya, realitas umat Islam hari ini kerap menunjukkan hal yang sebaliknya. Agama sekarang tidak jarang justru menjadi instrumen legitimasi untuk mempertahankan struktur penindasan. Alih-alih menjadi kekuatan moral yang menentang ketidakadilan, agama seringkali dimanfaatkan sebagai instrumen politik untuk kepentingan elit. Situasi ini bertolak belakang dengan teladan Nabi yang menunjukkan agama sejati adalah energi etis yang membebaskan, bukan mengekang. Keimanan sejati bukan sekadar ritual formal, melainkan praksis sosial yang berpihak kepada kaum lemah dan menolak penindasan dalam bentuk apa pun.

    Dalam konteks muhasabah ini, umat Islam dipanggil untuk meneladani Nabi Muhammad SAW secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Rasulullah mengajarkan kekuasaan adalah amanah, bukan sarana penindasan; kekayaan adalah titipan, bukan instrumen eksploitasi; dan agama adalah sumber kasih sayang, bukan legitimasi hierarki semu. Oleh karena itu, umat Islam harus menjadikan keteladanan Nabi sebagai dasar keberpihakan pada kaum marginal, perjuangan keadilan sosial, dan penguatan martabat kemanusiaan.

    Warisan profetik Nabi Muhammad SAW sebagai suara pembebasan bagi kaum tertindas merupakan pusaka universal yang melintasi zaman dan lintas agama. Pesan kenabian bukan hanya milik umat Islam, tetapi juga seluruh umat manusia. Dalam dunia yang masih ditandai oleh kesenjangan sosial, eksploitasi, dan ketidakadilan, gema seruan Nabi tetap relevan, bahwa tidak ada iman tanpa keberpihakan pada kaum tertindas, dan tidak ada ketakwaan tanpa pembelaan terhadap sesama. Dengan demikian, Nabi Muhammad SAW dapat dipahami sebagai figur revolusioner yang penuh kasih, pemimpin yang melayani, serta teladan yang menyatukan spiritualitas dengan misi pembebasan sosial.

    Daftar Pustaka (APA 7th Edition)

    Esack, F. (1997). Qur’an, liberation and pluralism: An Islamic perspective of interreligious solidarity against oppression. Oneworld Publications.

    Qur’an. (2005). (M. A. S. Abdel Haleem, Trans.). The Qur’an. Oxford University Press.

    Ramadan, T. (2007). In the footsteps of the Prophet: Lessons from the life of Muhammad. Oxford University Press.

    NABI MUHAMMAD DAN TRANSFORMASI SOSIAL



    Nabi Muhammad SAW hadir dalam sejarah bukan hanya sebagai penyampai risalah ketuhanan, melainkan juga sebagai agen transformasi sosial yang membawa perubahan mendasar dalam peradaban manusia. Kehidupan beliau menandai titik balik revolusioner dari kondisi jahiliyah menuju masyarakat tauhid yang berkeadilan. Pada masa ketika praktik dehumanisasi, diskriminasi, dan dominasi elit Quraisy begitu mengakar, Nabi tampil dengan visi besar, yakni memerdekakan manusia dari belenggu penindasan, menegakkan kesetaraan, serta membangun solidaritas sosial lintas batas. Dengan begini menjadi jelas, misi kenabian Muhammad tidak hanya berhenti pada dimensi teologis, melainkan juga bergerak pada praksis sosial yang tetap relevan hingga hari ini.

    Transformasi profetik tersebut berakar pada konsep tauhid. Pengakuan bahwa hanya Allah yang layak disembah berarti menafikan klaim superioritas manusia atas manusia lain. Tauhid membawa implikasi sosial yang mendalam. Ia meruntuhkan hierarki semu yang menopang dominasi kelas tertentu dalam masyarakat Arab pra-Islam. Tradisi penguburan bayi perempuan, eksploitasi budak, dan kekuasaan absolut kaum bangsawan dikoreksi melalui ajaran kesetaraan dan penghormatan terhadap martabat semua manusia (Rahman, 1982). Dalam khutbah terakhirnya, Nabi menegaskan tidak ada keunggulan orang Arab atas non-Arab kecuali dengan ketakwaan. Pernyataan ini dapat dipandang sebagai deklarasi kesetaraan universal yang mendahului wacana hak asasi manusia modern (Ibn Hisham, 2000).

    Lebih jauh, progresivitas Nabi tampak dari keberaniannya menembus konservatisme sosial yang melekat pada masyarakat saat itu. Dalam struktur patriarkis yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat, beliau justru menegaskan hak-hak perempuan dalam bidang warisan, pendidikan, dan partisipasi sosial. Dari segi gender misalnya, perempuan dipandang sebagai subjek berdaya, bukan objek pasif (Barlas, 2002). Dalam ranah politik, Nabi menggagas Piagam Madinah sebagai kontrak sosial yang mengikat komunitas Muslim, Yahudi, dan pagan dalam satu komunitas politik yang setara. Piagam ini mencerminkan visi pluralisme dan inklusivitas yang melampaui zamannya, sekaligus menghadirkan model masyarakat multikultural yang progresif.

    Keberpihakan Nabi terhadap kelompok mustadl‘afin—yakni mereka yang tertindas secara sosial, ekonomi, maupun politik—merupakan aspek sentral dari etika sosial Islam. Al-Qur’an berulang kali menegaskan pentingnya membela yatim, fakir miskin, dan kaum dhuafa, sebagaimana termaktub dalam Surah al-Ma‘un (107:1–7). Praktik Nabi konsisten dengan pesan ilahi tersebut. Bilal bin Rabah, seorang budak berkulit hitam diberi kehormatan sebagai muazin pertama. Ammar bin Yasir dan keluarganya, meskipun mengalami penyiksaan karena iman, tetap mendapatkan dukungan Nabi. Sumayyah, syahid pertama dalam Islam, dihormati karena keteguhan keyakinannya. Fakta ini memperlihatkan basis revolusi Islam justru bertumpu pada kalangan marginal, bukan elit sosial.

    Keberpihakan tersebut tidak bersifat paternalistik, melainkan emansipatoris. Kaum mustadl‘afin diposisikan bukan sebagai objek belas kasihan, melainkan sebagai subjek perubahan. Prinsip ukhuwah Islamiyah menjadi fondasi solidaritas sosial yang membebaskan, sehingga masyarakat baru dapat dibangun di atas prinsip keadilan kolektif, bukan dominasi elit. Spirit keberpihakan ini seharusnya menginspirasi umat Islam kontemporer dalam menghadapi persoalan ketidakadilan struktural, kesenjangan ekonomi, dan marginalisasi sosial.

    Namun, realitas umat Islam hari ini kerap menunjukkan kecenderungan berbeda. Diskursus tentang penampilan lahiriah, perdebatan seputar formalitas ritual, dan penguatan identitas simbolik sering kali lebih dominan dibanding internalisasi substansial agama, serta etika sosial Nabi. Akibatnya, dimensi revolusioner dan progresif dari teladan beliau justru terpinggirkan dalam menghadapi persoalan riil masyarakat modern. Persoalan kemiskinan struktural, ketidakadilan ekonomi, marginalisasi kelompok minoritas, serta eksploitasi tenaga kerja masih sering luput dari perhatian praksis keagamaan. Padahal, misi profetik Nabi secara jelas menuntut keberpihakan nyata kepada mereka yang tidak memiliki suara dalam struktur sosial yang timpang.

    Dalam konteks Indonesia, muhasabah terhadap teladan Nabi menegaskan tauhid bukan semata doktrin teologis, melainkan basis emansipasi sosial. Ukhuwah tidak boleh berhenti sebagai retorika persaudaraan, tetapi harus diwujudkan dalam solidaritas lintas kelas, etnis, dan agama. Keadilan tidak semestinya diperlakukan sebagai jargon politik, tetapi harus diterjemahkan dalam kebijakan publik yang berpihak pada kaum lemah. Relevansi misi kenabian di era modern justru terletak pada keberanian untuk menghadirkan nilai-nilai profetik dalam praksis sosial yang konkret dan terukur.

    Dengan demikian, revolusi moral dan sosial yang dimulai Nabi Muhammad lebih dari empat belas abad yang lalu tidak boleh dipandang sebagai nostalgia sejarah. Ia adalah panggilan etis yang menuntut aktualisasi dalam kehidupan kontemporer. Peringatan atas keteladanan beliau tidak cukup diekspresikan melalui pujian atau ritual seremonial semata, tetapi harus diwujudkan dalam keberanian untuk melanjutkan misi profetik, seperti membangun peradaban yang adil, progresif, dan berpihak kepada mustadl‘afin. Muhasabah ini menegaskan keteladanan Nabi Muhammad SAW adalah fondasi moral yang tetap relevan sepanjang zaman.


    REFERENSI

    Barlas, A. (2002). Believing women in Islam: Unreading patriarchal interpretations of the Qur’an. University of Texas Press.

    Ibn Hisham. (2000). The life of Muhammad: A translation of Ibn Ishaq’s Sirat Rasul Allah (A. Guillaume, Trans.). Oxford University Press. (Original work published ca. 8th century).

    Rahman, F. (1982). Islam and modernity: Transformation of an intellectual tradition. University of Chicago Press.

    JEJAK NABI MUHAMMAD SAW DALAM MERUNTUHKAN HEGEMONI DAN TIRANI



    Kehadiran Nabi Muhammad SAW dalam sejarah peradaban manusia tidak hanya dapat dipahami sebagai peristiwa spiritual, mengingat sepak terjang yang dilakukannya memprakarsai revolusi sosial yang mengguncang struktur kekuasaan mapan di Jazirah Arab. Risalah Islam yang beliau bawa tidak sebatas ajaran teologis yang menekankan keesaan Allah, tetapi juga pesan moral dan sosial yang membebaskan manusia dari cengkeraman hegemoni dan tirani. Mekah pada masa pra-Islam berada di bawah dominasi elit Quraisy yang menguasai ekonomi, politik, dan ritual keagamaan. Mereka memonopoli pengelolaan Ka‘bah, memelihara stratifikasi sosial yang kaku, serta menyingkirkan kelompok lemah seperti budak, perempuan, dan kaum miskin. Dalam konteks tersebut, seruan la ilaha illallah bukan sekadar kalimat iman, melainkan juga deklarasi politik yang menolak otoritas palsu berhala serta dominasi kaum elit yang menindas (Armstrong, 2006).

    Risalah Nabi Muhammad SAW membawa pesan kesetaraan yang meruntuhkan diskriminasi sosial. Dalam khutbah wada’, beliau menegaskan tidak ada kelebihan orang Arab atas non-Arab maupun sebaliknya, kecuali dengan ketakwaan (Ibn Hisham, 1997). Pernyataan tersebut merupakan koreksi tajam terhadap privilese etnis Quraisy yang selama berabad-abad menempatkan diri mereka sebagai kelompok superior. Prinsip kesetaraan yang ditegaskan Nabi Muhammad mengubah orientasi peradaban manusia, dengan menempatkan martabat individu sebagai dasar tatanan sosial.

    Prinsip keadilan yang terkandung dalam Al-Qur’an memperkuat arah perubahan sosial tersebut. Firman Allah, “Tegakkanlah keadilan, meskipun terhadap dirimu sendiri” (Qur’an 4:135, trans. Abdel Haleem, 2005), menegaskan hukum tidak boleh diperalat demi kepentingan penguasa atau kelompok tertentu. Pesan ini menjadi antitesis dari hukum jahiliyah yang bias kelas, di mana kelompok lemah sering dikorbankan untuk melindungi kepentingan elit. Oleh karena itu, risalah Nabi Muhammad SAW tidak hanya memuat aspek spiritual, tetapi juga dimensi sosial-politik yang menekankan keadilan universal (Esposito, 2010).

    Integritas moral Nabi tampak jelas dalam perjuangannya menghadapi tirani Quraisy. Meskipun dihadapkan pada intimidasi, boikot ekonomi, dan ancaman pembunuhan, beliau tidak pernah menukar prinsip tauhid dengan kompromi pragmatis. Ketika Quraisy menawarkan agar beliau menyembah berhala sekali saja dengan imbalan penghentian perlawanan, Nabi menolak dengan tegas. Penolakan tersebut kemudian diteguhkan dengan turunnya surah Al-Kafirun. Sikap ini menunjukkan perjuangan melawan tirani menuntut konsistensi prinsip, bukan kalkulasi politik sesaat (Nasr, 2012).

    Strategi Nabi juga bersifat konstruktif. Setelah hijrah ke Madinah, beliau merumuskan Piagam Madinah sebagai dokumen politik yang menata relasi antar-komunitas berdasarkan prinsip keadilan dan kesetaraan. Piagam tersebut membuktikan Nabi Muhammad bukan hanya menolak dominasi Quraisy, tetapi juga membangun kerangka koeksistensi yang menghormati pluralitas sosial. Dengan menjadikan Muslim, Yahudi, dan komunitas lain sebagai mitra dalam satu komunitas politik, Nabi menunjukkan komitmen terhadap model masyarakat multikultural yang progresif (Lecker, 2004).

    Refleksi atas jejak Nabi dalam meruntuhkan hegemoni dan tirani sangat relevan dengan konteks kontemporer. Dunia modern masih menyaksikan berbagai bentuk penindasan, mulai dari oligarki yang memusatkan kekuasaan pada segelintir orang, korupsi yang melemahkan keadilan sosial, diskriminasi berbasis ras dan agama, serta marginalisasi kelompok rentan. Dalam kondisi ini, teladan Nabi memberikan tiga pelajaran penting. Pertama, prinsip kesetaraan yang menolak diskriminasi dalam bentuk apa pun. Kedua, komitmen pada keadilan hukum yang imparsial, yang tidak tunduk pada kepentingan elit. Ketiga, keberanian moral untuk menghadapi tirani, meskipun harus mengorbankan kenyamanan atau keselamatan diri.

    Muhasabah atas teladan Nabi menuntut umat Islam untuk bertanya secara jujur, apakah benar-benar telah mewarisi misi beliau dalam membela kaum tertindas, atau justru secara sadar maupun tidak melanggengkan sistem yang tidak adil? Iman yang sejati harus diwujudkan dalam praksis sosial yang berpihak kepada kelompok lemah. Membela kaum miskin, perempuan yang termarjinalkan, dan komunitas rentan lainnya merupakan bagian integral dari keteladanan profetik. Dengan demikian, risalah Islam tidak boleh berhenti pada ritual semata, tetapi harus menjadi energi moral yang menumbuhkan masyarakat egaliter, adil, dan berkeadaban.

    Jejak Nabi Muhammad SAW dalam meruntuhkan hegemoni dan tirani membuktikan agama dapat menjadi kekuatan pembebas yang konkret. Beliau bukan hanya Rasul penyampai wahyu, tetapi juga pemimpin visioner yang berhasil mengubah wajah peradaban dunia. Refleksi atas jejak ini mengingatkan umat Islam agar tidak terjebak dalam pengagungan simbolik, melainkan meneladani semangat transformasi sosial secara substantif. Muhasabah terhadap teladan Nabi Muhammad SAW tidak hanya menghadirkan kesadaran, tetapi juga membangkitkan dorongan moral untuk terus melawan berbagai bentuk penindasan di era modern, sebagaimana beliau dahulu menghapus hegemoni dan tirani di tanah Arab.

    REFERENSI

    Abdel Haleem, M. A. S. (Trans.). (2005). The Qur’an. Oxford University Press.

    Armstrong, K. (2006). Muhammad: Prophet for our time. HarperCollins.

    Esposito, J. L. (2010). Islam: The straight path (4th ed.). Oxford University Press.

    Ibn Hisham. (1997). Al-Sirah al-Nabawiyyah (A. Guillaume, Trans.). Oxford University Press. (Original work published 1955).

    Lecker, M. (2004). The “Constitution of Medina”: Muḥammad’s first legal document. Princeton Papers in Near Eastern Studies, 12, 13–32.

    Nasr, S. H. (2012). Islam in the modern world: Challenged by the West, threatened by fundamentalism, keeping faith with tradition. HarperOne. 

    Thursday, September 4, 2025

    MENGHIDUPKAN MAULID: DARI AKSI SEREMONIAL KE AKSI KEBERPIHAKAN

    Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan salah satu tradisi keagamaan yang telah mengakar dalam masyarakat Muslim. Dalam banyak kesempatan, perayaan ini diwarnai dengan pembacaan maulid, lantunan salawat, tausiyah, serta rangkaian ritual yang membangkitkan rasa cinta kepada Rasulullah. Akan tetapi, terdapat kecenderungan peringatan tersebut berhenti pada aspek seremonial semata, sehingga makna substansial yang seharusnya diinternalisasikan ke dalam kehidupan sosial justru tereduksi. Maulid tidak hanya merupakan momentum historis kelahiran Nabi, melainkan juga ruang refleksi kritis terhadap sejauh mana umat Islam meneladani ajaran dan nilai-nilai yang diperjuangkan Rasulullah dalam dimensi keadilan, kemanusiaan, dan solidaritas sosial.
    Al-Qur’an menegaskan, Rasulullah merupakan figur teladan yang patut dijadikan rujukan dalam segala aspek kehidupan: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu…” (QS. Al-Ahzab [33]:21). Ayat ini menempatkan Maulid bukan sekadar sebagai ritual penghormatan, tetapi sebagai titik tolak muhasabah. Bertolak dari ayat ini, pertanyaan yang patut diajukan ialah, sejauh mana peringatan Maulid mampu menggerakkan umat Islam dari sekadar ekspresi emosional menuju perubahan sosial yang nyata?
    Dalam sejarah kehidupannya, Nabi Muhammad SAW telah menunjukkan konsistensi dalam menegakkan keadilan. Salah satu peristiwa penting yang menunjukkan hal ini adalah penegakan hukum terhadap seorang wanita dari kalangan elit Quraisy yang terbukti melakukan pencurian. Rasulullah dengan tegas menyatakan  hukum harus ditegakkan tanpa memandang status sosial, bahkan jika pelanggar hukum tersebut adalah keluarganya sendiri (Majelis Ulama Indonesia [MUI], t.t.). Peristiwa tersebut menegaskan prinsip keadilan yang tidak diskriminatif sekaligus memberikan pelajaran bahwa keberpihakan Nabi berpijak pada nilai universal, bukan pada kepentingan kelompok tertentu.
    Selain itu, Rasulullah juga memperlihatkan sikap humanis dan inklusif dalam berinteraksi dengan masyarakat. Kehadiran Islam di bawah kepemimpinannya menembus sekat-sekat kesukuan, kedaerahan, bahkan perbedaan agama. Prinsip rahmatan lil ‘alamin yang dibawa Rasulullah menjadi bukti bahwa misi Islam bersifat universal dan mengandung pesan kemanusiaan yang luas (NU Online, 2018; Wakil Presiden RI, 2020). Dengan demikian, memperingati Maulid seharusnya melahirkan kesadaran untuk menumbuhkan sikap toleran, anti-diskriminasi, dan empati terhadap seluruh umat manusia.
    Dimensi sosial Maulid juga harus diwujudkan melalui aksi nyata yang menyentuh persoalan riil masyarakat. Nabi Muhammad dikenal sebagai pribadi yang penuh empati. Beliau menjenguk orang sakit, menolong kaum miskin, serta memperhatikan kaum marjinal yang sering diabaikan (Dompet Dhuafa, 2024). Jika perayaan Maulid hanya berfokus pada pembacaan teks dan perayaan simbolik tanpa disertai tindakan nyata yang berpihak pada kaum lemah, maka makna substansial dari Maulid tidak tercapai. Oleh karena itu, penguatan aksi sosial, seperti pemberdayaan ekonomi masyarakat, bantuan kemanusiaan, dan pendidikan akhlak bagi generasi muda merupakan bentuk implementasi teladan Rasulullah yang sejati.
    Transformasi dari seremonial menuju keberpihakan menuntut adanya kesadaran kolektif. Perayaan Maulid dapat dijadikan sarana konsolidasi moral sekaligus momentum aksi sosial. Kegiatan-kegiatan seperti santunan anak yatim, penyediaan layanan kesehatan gratis, atau program literasi keagamaan yang menekankan nilai integritas dan kejujuran merupakan contoh konkret bagaimana Maulid dihidupkan secara lebih bermakna (Wibowo, 2023). Dengan demikian, Maulid tidak lagi dipandang sekadar sebagai tradisi tahunan, tetapi juga sebagai instrumen perubahan sosial yang berorientasi pada nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.
    Pada akhirnya, Maulid seharusnya dipahami sebagai peristiwa spiritual sekaligus sosial. Ia menjadi ruang muhasabah bagi setiap Muslim untuk menilai sejauh mana kecintaan kepada Rasulullah telah diwujudkan dalam sikap hidup sehari-hari. Amin Ma'ruf, Mantan Wakil Presiden RI menekankan, Maulid dapat dijadikan momentum membangun peradaban moral dan menata ulang sistem sosial-ekonomi yang lebih adil. Pernyataan ini menegaskan peringatan Maulid memiliki relevansi strategis bagi upaya transformasi sosial dalam konteks kekinian.
    Pada akhirnya, perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW jangan hanya dicukupkan pada aspek ritual dan seremonial. Ia harus dihidupkan sebagai gerakan keberpihakan terhadap nilai-nilai luhur yang diajarkan Nabi, yakni keadilan, kemanusiaan, dan solidaritas sosial. Hanya dengan cara demikian, Maulid dapat memberikan kontribusi nyata dalam membangun masyarakat yang berkeadilan dan berperadaban. Maulid bukan hanya peringatan masa lalu, melainkan juga kompas moral untuk menavigasi masa depan.

    DAFTAR PUSTAKA

    Dompet Dhuafa. (2024, 25 Agustus). Refleksi Maulid Nabi, menjadi insan yang memiliki moral empati sosial. Dompet Dhuafa Republika. https://www.dompetdhuafa.org/empati-sosial-teladan-rasul/
    Majelis Ulama Indonesia. (t.t.). Refleksi Maulid Nabi: Rasulullah, teladan dalam menegakkan hukum yang adil. MUI. https://mui.or.id/baca/mui/refleksi-maulid-nabi-rasulullah-teladan-dalam-menegakkan-hukum-yang-adil
    NU Online. (2018, 20 November). Maulid Nabi, momentum kebangkitan spirit kemanusiaan. NU Online. https://nu.or.id/nasional/maulid-nabi-momen-kebangkitan-spirit-kemanusiaan-nDyNi
    Wakil Presiden RI. (2020, 29 Oktober). 5 pilar perubahan yang patut diteladani dari Rasulullah. Sekretariat Wakil Presiden RI. https://www.wapresri.go.id/5-pilar-perubahan-yang-patut-diteladani-dari-rasulullah/
    Wibowo, D. R. (2023, 28 September). Peringatan Maulid Nabi momentum refleksi diri. KweeksNews. https://www.kweeksnews.com/posts/peringatan-maulid-nabi-momentum-refleksi-diri